Posted in Pojok Cerpen

Percakapan Sederhana Dalam Rumah Sederhana

 

Lentera itu menyala. Temaram. Samar-samar guratan pemandangan pada sudut-sudut kamar berdinding anyaman bambu itu pun tergurat. Di sudut kamar kecil itu terongok sebuah meja kecil. Sebuah meja yang tidak terlalu besar untuk menampung muatan-muatan yang tersebar di atasnya. Sebuah tas sekolah lusuh berhiaskan beberapa buku catatan lusuh tergeletak di atas meja kecil itu.

Suara kursi yang berdenyit-denyit menjadi satu-satunya harmoni yang menjadi penawar sunyi di rumah kecil itu. Berhiaskan cahaya temaram, terlihat seorang anak berumur 10 tahun tengah asyik menyelami buku yang ia baca. Sains Dalam Kehidupan Sehari-Hari adalah judul buku lusuh yang tengah ia pegang. Tatapan matanya serius. Berusaha untuk menyelami dan juga memahami apa yang tertulis dalam buku lusuh berwarna kecoklatan dengan gambar sampul yang telah mulai memudar itu.

Sesekali terlihat kepalanya mengangguk. Mungkin bertanda bahwa ia mulai sedikit memahami apa yang tertulis pada buku itu. Namun tak jarang pula ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang mungil itu kesana-kemari. Ku rasa itu adalah pertanda bahwa terdapat bagian-bagian yang mungkin terlalu sukar untuk dicerna oleh otak seorang anak berumur 10 tahun.

“luar biasa sekali buku ini,” guman anak kecil itu dengan nada keheranan bersampur dengan kekaguman. “Ilmuwan-ilmuwan hebat. Mereka bekerja untuk pengetahuan dan untuk memahami alam.”

Entah mendapat inspirasi darimana. Seorang anak berumur 10 tahun mampu mengucapkan kata-kata seperti itu. Seolah hanya tubuhnya yang menyerupai seorang anak berusia 10 tahun, namun otaknya telah lebih dewasa dari seorang remaja berusia 15 tahun.

“Ra!” seru seorang wanita dari luar ruangan.

“iya Bu,” jawab anak kecil itu sembari berlari menghampiri ke arah suara perempuan tadi.

“Tolong berikan kopi dan gorengan ini kepada Ayah mu di depan sana,” kata perempuan itu dengan nada lembut dan ramah.

Anak kecil yang bernama Ra itu mengangguk kecil. Raut wajahnya yang riang tergores pada wajahnya yang masih polos dan bersih itu. Dengan hati-hati, ia mulai berjalan sembari membawa baki berisi kopi hitam panas mengepul dan juga sepiring pisang goring. Ia berjalan dengan penuh kehati-hatian menuju ke serambi rumah sederhana berdinding anyaman bamboo dan beralas tegel gelap itu.

Di serambi rumah itu terlihat seorang laki-laki yang belum terlalu tua, tengah duduk di atas kursi bambu sembari menatap ke arah purnama yang tengah menggantung dalam pekatnya malam.

“kopi dan pisang goring Yah, “ kata Ra dengan lembut sembari tersenyum.

“Oh, terima kasih Nak,” sahut pria itu sembari menoleh ke arah datangnya Ra. “taruh saja di meja Nak.”

Tanpa perlu untuk disuruh yang kedua kalinya. Ra meletakkan baki berisi kopi panas mengepul dan sepiring pisang goring itu ke atas meja bambu di hadapan Ayahnya.

“Terima kasih Nak,” kata pria itu dengan lembut sembari membelai rambut anaknya.

Ra hanya memandangi Ayahnya . Raut wajah bahagia nampak tergores secara jelas di mukanya. “Ayah sedang apa?” tanya Ra dengan nada polos.

Pria itu tersenyum mendengar pertanyaan anak pertamanya itu. Sesaat kemudian ia mengambil cangkir berisi kopi mengepul lalu menyeruput minuman itu secara perlahan. Srrpppp. Setelah meneguk minuman kusukaannya itu, ia kemudian berkata,”apa kamu sudah belajar Ra?”

Anak kecil mengangguk dengan yakin. “Sudah, “ jawabnya penuh dengan kepastian. “Aku belajar ilmu pengetahuan Yah. Aku membaca buku lusuh berisi penjelasan tentang ilmu pengetahuan. Buku itu sangat lusuh. Sampulnya tidak tergambar dengan jelas, namun isi buku itu bagus. Banyak penjelasan tentang ilmu pengetahuan.”

Pria setengah tua itu hanya tersenyum memandangi anak kecil itu bercerita dengan penuh antusias. “Yah!” Seru anak itu. Aku ingin menjadi seorang ilmuwan. Aku ingin seperti ilmuwan hebat seperti yang tadi aku baca. Aku ingin seperti Newton yang menemukan gravitasi. Aku ingin seperti Einstein yang jenius. Aku ingin seperti Avicenna…”

“Avicenna?” potong pria setengah tua itu. “apa yang kamu tahu tentang Avicenna Nak?”

Anak itu terdiam sejenak. Wajahnya nampak mulai berpikir serius. “Dia adalah salah satu dokter bedah terhebat sepanjang masa Yah. Banyak yang berguru padanya.”

Nampak wajah pria itu berlukis dengan kepuasaan dan kebanggan. “Bagus. Kamu telah banyak mengenal tentangnya rupanya.”

Sekali lagi pria itu menyeruput kopi panas yang ada dihadapannya. “mengapa kamu tidak menjadi dokter atau insyinyur saja Nak?” tanya pria itu setelah meletakkan cangkir kopinya.

“tidak Yah. Aku ingin menjadi ilmuwan. Aku ingin menjadi ilmuwan hebat seperti ilmuwan-ilmuwan hebat lainnya yang pernah ada,”katanya dengan penuh keyakinan.

Pria setengah tua itu memandang lekat wajah anaknya. Ditatapnya anak itu dengan penuh kasih sayang. “Bagus Nak, kamu memang harus yakin dan serius dengan cita-cita mu. Mau menjadi dokter, ilmuwan, insinyur atau apapun itu terserah kamu. Namun kamu harus serius. Tidak mudah untuk menjadi seorang ilmuwan hebat. Begitu pula untuk menjadi dokter, insinyur atau lainya juga tidak mudah, semuanya perlu keseriusan dan juga kerja keras Nak. Kamu harus terus belajar dan bekerja keras.”

Anak itu menganggun yakin. “jadi aku boleh menjadi seorang ilmuwan seperti Ayah?”

Kini giliran pria setengah tua itu yang mengangguk dengan pasti. “kamu boleh jadi apapun yang kamu mau Nak. Mau menjadi petani pun Ayah tidak akan melarang. Asalkan kamu bersungguh-sungguh.”

Wajah anak itu nampak sangatlah gembira. Rona kegembiraan terpancar dalam guratan wajahnya yang masih polos itu.

“karena kamu sudah memutuskan untuk menjadi seorang ilmuwan, maka mulai dari sekarang kamu harus lebih rajin dan lebi giat lagi untuk belajar. Ilmuwan yang hebat tidak pernah berhenti untuk belajar. Mereka belajar setiap hari. Mereka belajar untuk terus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka. Ingat itu. Rajinlah belajar.”

“Ya Ayah,”jawab anak itu singkat.

“sekarang tidurlah. Besok kamu harus berangkat sekolah kan?”

Anak itu mengangguk setuju. “Apakah Ayah tidak mendongengi ku mala mini?”

“Bukankah mala mini giliran Ibu kamu untuk memberikan dongeng sebelum tidur kepada mu?” tanya pria setengah tua itu dengan penuh senyum kehangatan.

Dengan senyuman yang tersungging, anak itu berlari menuju ke pintu. Seorang perempuan dengan mata berbinar dan senyuman yang terlukis indah di wajahnya telah mengamati percakapan dua orang anak manusia berbeda generasi itu sejak tadi. Keduanya pun berjalan memasuki rumah sederhana bercahaya temaram, berdinding anyaman bambu itu.